Kekerasan Seksual dalam Relasi Medis: Tanggung Jawab Hukum dan Etika Klinis

Sejumlah kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter mencuat sepanjang Maret-April 2025. Lokasinya tersebar mulai dari Bandung, Garut, hingga Malang. Terungkapnya tindakan asusila di dunia medis ini mendorong para korban untuk angkat bicara dan melaporkan kejadian yang mereka alami ke pihak berwajib. Kasus-kasus tersebut pun pada akhirnya berujung dengan ditetapkannya para pelaku yang berprofesi sebagai dokter itu sebagai tersangka. Berikut ini beberapa kasus kekerasan seksual oleh dokter yang terbongkar pada periode Maret-April 2025. (TEMPO.CO).

Berikut adalah beberapa dugaan pola yang muncul: (1). Penyalahgunaan Otoritas Profesional, pelaku sering kali memanfaatkan statusnya sebagai tenaga medis untuk menekan atau membujuk pasien agar melakukan tindakan seksual. Hal ini sering terjadi dalam situasi di mana pasien berada dalam kondisi rentan, seperti saat menjalani perawatan medis atau prosedur medis tertentu. (2). Manipulasi Kepercayaan Pasien, pasien yang mempercayakan kesehatannya kepada tenaga medis dapat menjadi sasaran manipulasi emosional. Pelaku memanfaatkan kepercayaan ini untuk melakukan tindakan yang tidak etis dan melanggar batas profesional. (3). Ketidaktahuan Pasien tentang Hak-Hak Medis, kurangnya pemahaman pasien tentang hak-hak mereka dalam konteks medis dapat membuat mereka rentan terhadap eksploitasi. Pelaku memanfaatkan ketidaktahuan ini untuk melakukan tindakan yang tidak sah dan merugikan pasien. (4). Ketergantungan Ekonomi atau Sosial Pasien, pasien yang bergantung secara ekonomi atau sosial pada fasilitas medis tertentu dapat menjadi sasaran eksploitasi. Pelaku memanfaatkan ketergantungan ini untuk memaksa pasien melakukan tindakan seksual sebagai syarat untuk mendapatkan perawatan atau layanan medis. (5). Penggunaan Teknologi untuk Eksploitasi, beberapa kasus melibatkan penggunaan teknologi (era digital) untuk mengeksploitasi pasien. Pelaku dapat merekam atau mendistribusikan konten seksual tanpa persetujuan pasien, yang kemudian digunakan untuk menekan atau memanipulasi korban.

Beberapa alternatif solusi: (1). Wajibkan Pendamping Pasien Saat Pemeriksaan, aturan tegas di fasilitas kesehatan, misalnya pasien perempuan/anak tidak boleh diperiksa sendirian oleh dokter (pria), terutama saat pemeriksaan fisik yang bersifat sensitif. (2). Buat Hotline Nasional Kekerasan Seksual dan wajib dipasang  di semua ruang tunggu rumah sakit dan klinik. (3). Pasang CCTV di Ruang Pemeriksaan (Non-Intim/ non-privat) dengan SOP hak akses atas CCTV. (4). Buat Sistem Laporan Internal yang Bisa Diakses Pasien, semua rumah sakit wajib punya form pengaduan online (via QR Code atau aplikasi). (5). Proses Hukum Cepat untuk Pelaku, dan bentuk Satgas Penanganan Kekerasan Seksual di Dunia Medis (lintas lembaga). (6). Pendidikan Etika Seksual di Fakultas Kedokteran, antara lain meliputi: modul etika relasi & anti-kekerasan seksual selama pendidikan klinik. Regulasi internasional dapat digunakan sebagai acuan, antara lain: WHO (Guidelines on Responding to Sexual Violence, 2022), (WMA International Code of Medical Ethics, 2022), dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Selain Kode Etik yang terkait dokter dan rumah sakit, maka terdapat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mengatur pada Pasal 2 huruf f tentag Asas Etika dan Profesionalitas, sehingga penyimpangan perilaku seksual oleh tenaga medis adalah pelanggaran terhadap asas dasar pelayanan kesehatan. Pasal 4 ayat (1) huruf c dan d, terkait hak pasien atas pelayanan aman dan bermutu. Pasal 4 ayat (1) huruf h dan i, terkait hak atas persetujuan dan kerahasiaan. Pasal 12 huruf d, terkait kewajiban pemerintah memberikan pelindungan kepada pasien. Pasal 54–58, terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Kasus kekerasan seksual oleh dokter yang mencuat pada Maret–April 2025 menunjukkan pola sistemik penyalahgunaan otoritas medis, manipulasi kepercayaan pasien, serta eksploitasi dalam konteks ketidaktahuan dan ketergantungan pasien. Situasi ini mencerminkan kegagalan perlindungan etis dan hukum dalam dunia medis yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Pencegahan memerlukan regulasi ketat, mekanisme pelaporan yang mudah, serta penegakan etika profesi. Selain mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 2 huruf f (etika dan profesionalitas), Pasal 4 ayat (1) huruf c, d, h, i (hak atas layanan aman dan kerahasiaan), Pasal 12 huruf d (perlindungan pasien), serta Pasal 54–58 tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Perlu reformasi etik dan sistem pengawasan di institusi medis untuk menjamin hak dan keselamatan pasien secara menyeluruh. Semoga segera dilakukan langkah-langkah yang konkrit karena kondisis demikian dapat diungkapkan bahwa ”di ruang yang seharusnya menjadi tempat pemulihan, justru sakit paling dalam dibiakkan bukan karena penyakit, tapi karena kekuasaan yang disalahgunakan.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top