Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) kembali menggelar Studium Generale bertema “Darurat Perlindungan Pekerja di Era Digital: Tinjauan dari Perspektif Hukum Ketenagakerjaan, Konstitusi dan HAM” pada Jumat, 18 Juli 2025, pukul 13.00–15.00 WIB. Kegiatan ini dilangsungkan di Auditorium Kampus Terpadu UWM, Banyuraden, Gamping, Sleman.
Acara secara resmi dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum UWM, Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum. Dalam sambutannya, Dr. Hartanto menyoroti pentingnya penguatan regulasi dan perlindungan hukum bagi para pekerja di sektor digital yang saat ini masih berada di area abu-abu hukum. “Pekerja digital atau pekerja online kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ekonomi modern. Namun ironisnya, banyak dari mereka belum mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya,” ujar Dr. Hartanto. Beliau juga menekankan peran institusi pendidikan tinggi, khususnya fakultas hukum, dalam mendorong lahirnya regulasi yang adil dan inklusif untuk seluruh jenis hubungan kerja.
Acara menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, praktisi buruh, hingga pejabat pemerintah.
Dr. Teguh Imam Sationo, S.H., M.Sc., dosen Fakultas Hukum UWM, membuka sesi materi dengan paparan berjudul “Pekerja Digital dan Hak Konstitusional”. Ia menjelaskan berbagai bentuk pekerjaan digital misalnya seperti freelancer, gig worker, remote worker, hingga konten kreator, yang mayoritas belum terlindungi secara hukum formal. Pekerja digital dinilai rentan kehilangan hak-hak dasar seperti jaminan sosial, upah layak, dan waktu kerja yang manusiawi. Dr. Teguh juga mengangkat praktik-praktik dari negara lain seperti Spanyol, Inggris, dan Singapura yang telah mulai memberikan perlindungan hukum progresif bagi pekerja platform.


Narasumber kedua, Ade Irawan, S.I.P., M.A., Koordinator MPBI DIY, menyampaikan realitas pekerja digital di lapangan. Ia menegaskan bahwa banyak pekerja platform hidup dalam ketidakpastian tanpa kontrak kerja, tidak memiliki akses jaminan sosial, dan seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Ia menyebut absennya regulasi yang adil sebagai bentuk pengabaian hak-hak konstitusional dan ketimpangan struktural. Dalam perspektif HAM, hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan yang adil dan layak sebagaimana dijamin dalam DUHAM dan Kovenan Ekosob.
Sementara itu, Novendy Setia Wibawa, S.H., M.H., Pengawas Ketenagakerjaan Muda Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, menyoroti tantangan advokasi pekerja digital dari sudut pandang kebijakan publik. Ia menjelaskan bahwa kerangka hukum ketenagakerjaan nasional saat ini masih berbasis hubungan kerja konvensional, sehingga belum mampu mengakomodasi fleksibilitas dan kompleksitas kerja digital.
Berdasarkan data dan pengamatan lapangan, Darmawan menunjukkan bahwa mayoritas pekerja digital bekerja tanpa kontrak formal, tidak memiliki akses jaminan kesehatan rutin, serta menghadapi risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Selain itu, tantangan besar lainnya adalah minimnya kesadaran kolektif di kalangan pekerja digital itu sendiri serta fragmentasi yang tinggi karena lokasi dan pola kerja yang tersebar. Ia menekankan pentingnya strategi advokasi yang menyatukan suara pekerja digital, memperkuat solidaritas, dan mendorong pembentukan regulasi baru yang ramah pekerja digital. Diskusi dimoderatori oleh Muhammad Rusdi, S.H., M.H., dosen FH UWM, yang memandu acara dengan interaktif dan mengajak peserta untuk merefleksikan tantangan hukum kontemporer di era digitalisasi ketenagakerjaan.
Melalui Studium Generale ini, Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram menegaskan perannya dalam mendorong wacana hukum yang relevan dan progresif terhadap perkembangan zaman, khususnya dalam menjamin perlindungan pekerja digital sebagai bagian dari sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan berkeadilan.