Transformasi Legalitas Formil Ke Legalitas Materiil Pembaharuan Hukum Pidana

Khairil Ikhsan, S.H., M.H/Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum

Asas legalitas/principle of legality atau yang pada istilah latin disebut nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali merupakan asas yang menegaskan bahwa tidak terdapat perilaku yang diancam maupun diancam pidana apabila tidak diputuskan terdahulu melalui undang-undang. Jadi, bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Namun, berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS), dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP memperluas perumusan asas legalitas yaitu dengan perumusan asas legalitas materiel yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1).[1]

Keterbatasan Legalitas Formil

Eksistensi asas legalitas Formil dan materiil dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP menjadi sebuah perdebatan atau pro kontra dikalangan para Yuris negeri ini. Ada yang mengangap bahwa dengan perluasan makna dari asal legalitas formil menjadi formil materiil menjadi suatu kemunduran. Namun dibalik itu pendapat yang mengatakan bahwa perluasan makna asas legalitas merupakan sebuah wujud dari tujuan untuk mencapai keadilan yang lebih substantif.

Hukum pidana berbasis legalitas formil cenderung kaku dan tidak responsif terhadap permasalahan yang membutuhkan pendekatan yang lebih dinamis. Legalitas formil memasang wajah hukum dalam tataran teks-teks kaku. Keterbatasan ini menimbulkan dilema dalam menghadapi kasus-kasus yang mungkin tidak tercakup dalam ketentuan hukum yang ada, tetapi secara substansial merugikan masyarakat atau melanggar nilai-nilai keadilan. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk memperluas makna prinsip legalitas dari legalitas formil menuju legalitas materil.

Legalitas Materil: Jalan Menuju Keadilan Substansial

Legalitas materil menekankan bahwa hukum tidak hanya harus memenuhi ketentuan formil atau prosedural, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai keadilan substantif. Dalam konteks ini, hukum tidak lagi dipandang sebagai serangkaian aturan yang kaku dan tidak fleksibel, melainkan sebagai alat yang harus dapat menyesuaikan dengan perubahan dalam masyarakat serta kebutuhan untuk mencapai keadilan yang lebih luas. Pendekatan legalitas materil memungkinkan hukum pidana untuk lebih responsif terhadap realitas sosial dan keadilan substantif.

Menurut Eddy O.S. Hiariej, dalam catatannya terhadap KUHP Baru menyatakan bahwa pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP menunjukan bahwa secara implisit hukum pidana di Indonesia telah mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Artinya, meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tertulis, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.[2]

Barda  Nawawi  Arif memberi  kritikan  pada  asas  legalitas  yang  ada  pada  KUHP WvS,  sebagaimana yang  tertuang  dalam  KUHP  WvS  Pasal  1  ayat  (1).  Menurutnya, dengan  pengaturan  Pasal  1  ayat  (1)  KUHP, seakan  hukum  pidana  hanyalah  berupa undang-undang selain dari itu bukan hukum. Padahal hukum pidana ada juga yang tidak tertulis  seperti  hukum  yang  hidup  dalam  masyarakat,  hal  ini  sengaja  dikubur  oleh penjajah. Wajar  jika  peraturan  pidana  tidak  tertulis  itu  dibuat  pada  saat-saat  jaman kolonialisme  dimatikan,  karena  hal  itu  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan yang  berlaku  di  Belanda  pada  waktu  itu.  Namun,  akan  sangat  aneh  jika  pengaturan  ini dilakukan  setelah  kemerdekaan. Padahal  berbagai  aturan  sudah sangat  jelas  mengakui adanya hukum yang hidup dimasyarakat.[3] Hal    yang    sama    dingkapkan    suartha    cara    pandang    untuk memperbaharui  hukum  pidana  adalah  dengan  merubah  pola  pikir  laglistik  formil  ke legalistik materil.[4] Penulis ingin katakan di sini, bahwa wajah legalitas formil tidaklah salah. Legalitas formil  hanya tidak lengkap memberikan tawaran berpikir. Legalitas formil terlalu menyederhanakan persoalan kemanusiaan karena beberapa sebab. Penting untuk dicatat bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil tidak dimaksudkan untuk menggantikan asas legalitas. Asas legalitas tetap menjadi dasar utama dalam hukum pidana, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali diatur dalam undang-undang. Ajaran sifat melawan hukum materiil hanya digunakan dalam keadaan khusus, yaitu ketika undang-undang tidak mengatur secara detail tentang suatu perbuatan yang dianggap merugikan dan bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

[1] Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 96

[2] Eddy O. S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 39-40.

[3] Barda Nawawi Arief, 2011, Beberapa Aspek penegakan dan  Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 122-123

[4] Tongat, Dasar-Dasar  Hukum  Pidana  Indonesia  dalam  Perspektif  Pembaharuan,  UMM  Press,  Malang: 2012, h. 53-54

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top