Laili Nur Anisah, S.H., M.H/ Dosen Departemen Hukum Pidana
“Bisa juga pemain bola yang sudah di atas 40, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat lalu kita jodohkan dengan perempuan Indonesia, nah anaknya itu yang kita harpkan menjadi pemain yang bagus juga…., banyak pemain yang jago-jago yang udah tua kita carikan istri di sini, lalu anaknya kita bina Pak, pasti yakin anaknya pasti baik karena dia Indonesian Born”, (Ahmad Dani Prasetya, Anggota DPR Fraksi Gerindra, 2025)
Sekilas pernyataan di atas seperti becandaan biasa yang terjadi di warung-warung kopi, namun naasnya pernyataan tersebut dilontarkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga dan dihadiri Ketua Umum Persatuan Sepakbol Seluruh Indonesia (PSSI). Reaksi yang terlihat, tampak sebagaian besar hadirin tertawa mendengar usulan Dani tersebut. Tidak hanya Dani, beberapa orang pemimpin juga pernah melontarkan candaan tentang perempuan, Ridwal Kamil contohnya. Pada masa kampanye pemilihan Gubernur DKI. Jakarta terlontar, “Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak …, akan diurus lahir batin oleh Bang…, akan diberi sembako oleh Bang…, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang …”.
Pernyataan dua orang di atas, jika ditelisik kembali mencerminkan sikap tidak sensitive gender dan bersifat misoginis, yaitu sikap membenci seseorang karena jenis kelaminnya. Perempuan dilihat sebagai objek reproduksi, menghasilkan anak, menihilkan nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang dimiliki. Janda dianggap objek lemah yang harus dinafkahi, diurus dan dilindungi oleh laki-laki. Faktanya berdasarkan penelitian Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), perempuan juga bisa menjadi pemimpin keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor misalnya perceraian, kematian maupun ditinggalkan oleh suami. PEKKA juga menjelaskan kepemimpinan perempuan dinilai lebih inklusif dan kolaboratif yakni melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan rumah tangga.
Indonesia sendiri telah meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). Konvensi tersebut berisi prinsip-prinsip hak asasi perempuan yang diakui juga sebagai Hak Asasi Manusia, juga berisi norma, standar-standar, kewajiban, serta tanggung jawab Negara peratifikasi dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu pasal menginstruksikan negara peratifikasi wajib membuat peraturan perundang-undangan dengan tujuan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan serta mendorong akses kesetaraan perempuan dan lak-laki. Tidak itu saja, konvensi tersebut juga melarang negara peratifikasi melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin agar pejabat dan lembaga publik bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut. Pejabat publik merupakan orang yang memiliki pengaruh luas terhadap masyarakat, perbuatan dan ucapannya disorot media sebagai suatu pengawasan kinerja. Ucapan dan tindakan pejabat publik memiliki dampak pada pengambilan kebijakan sebuah negara.
Pernyataan Dani sebagai Anggota DPR RI di atas tidak saja melanggar pasal-pasal dalam CEDAW namun juga dapat dikatakan rasis dan seksis. Perempuan dianggap sebagai mesin reproduksi untuk menghasilkan anak-anak keturunan unggul yang dapat dimanfaatkan sebagai pemain bola di masa depan. Ide Dani tidak hanya menunjukkan pola pikir patriarki dalam kepalanya, celakanya ide tersebut secara terbuka diusulkan di depan Forum Dengar Pendapat Komisi X DPR RI yang dibiayai oleh rakyat, termasuk rakyat berjenis kelamin perempuan. Pendapat Dani yang disusul gelak tawa anggota DPR RI dan Kemenpora, menunjukkan candaan seksis yang mendiskriminasi perempuan masih menjadi culture rape yang dipertontonkan secara vulgar di forum dan majelis terhormat. Bagaimana Indonesia dapat mencapai tujuan Konvensi CEDAW jika wakil-wakil rakyat masih memiliki sikap demikian. Tentu kita berharap banyak pada pendidikan partai politik calon wakil rakyat yang tidak hanya pintar mengeruk suara namun juga mampu secara bijaksana mengungkapkan pendapat yang mencerminkan adil sejak dalam pikiran.