Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum/Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Gustav Radbruch merupakan tokoh legendaris di bidang hukum dari negara Jerman, yang ajarannya banyak digunakan para ahli hukum sampai saat ini. Radbruch menghubungkan tiga elemen: realitas, gagasan hukum, dan akal. Pada konsep realitas mengacu pada positifnya hukum (positivis), yaitu pengundangan dan kepastiannya. Inilah dimensi hukum yang paling nyata dan mudah dipahami. Pada konsep kemanfaatan akan mengacu pada tujuan hukum agar bermanfaat yang diterima masyarakat (progresif) dengan adanya hukum maupun penerapan Hukum. Pada konsep gagasan hukum merupakan dimensi ideal yaitu tentang konsep keadilan, maka konsep keadilan ini dapat dianggap puncak atau setidaknya dapat melingkupi asas kepastian maupun kemanfaatan, pandangan ini merupakan salah satu alternatif yang lebih memenuhi interpretasi hukum yang baik daripada mempertentangkan antar nilai dalam bentuk kossep.
Konsep keadilan dalam hal ini menjadi fundamental dan dapat kita kaitkan dengan falsafah Pancasila pada sila ke 5 tentang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka keadilan sosial ini sebenarnya nilai yang harus dikonkretkan dalam pembangunan hukum di Indonesia, istilah bebasnya adalah keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan condong pada kepentingan para pejabat/ pemegang kuasa negara. Kepastian hukum merupakan nilai yang lebih mudah dibakukan daripada nilai kemanfaatan yang sering menjadi multiperspektif maupun multi interpretasi, bahkan pada peristiwa konkret kita dapat pula lebih jauh dengan membutuhkan metode penalaran hukum. Dalam tataran keadilan selanjutnya akan terhubung dengan konsep moralitas.
Perdebatan lain yang dilakukan oleh Radbruch adalah soal keadilan formal maupun keadilan substantif, jika kita maknai secara mudah tentu kita akan mengatakan keadilan yang kita pilih adalah keadilan substantif, namun dalam praktek sebagian besar dari kita akan dihadapkan dalam aturan formal yang terlebih dahulu harus terpenuhi. Dalam konteks keadilan dalam sebuah negara dan lembaga peradilan maka kita dapat melihat pendapat Plato bahwa idealnya suatu negara berintikan kebaikan, yang dapat diwujudkan; kemudian Plato mengembangkan pendapatnya bahwa negara yang baik adalah negara dan pemerintahan yang berdasarkan supremasi hukum.
Beberapa waktu kemudian Montesqueieu mengutarakan pemikarannya tentang Trias Politika dan senada dengan itu Jean Jaques Rousseau mengemukakan tentang Kedaulatan Rakyat. Dari perjalanan panjang pemikiran tokoh-tokoh ini, bisa dilihat trend pemikiran mereka berusaha mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan penguasa yang abssolut. Maka mendasarkan pemikiran pada tahap akhir ini, penguasa yang absolut dapat diinterpretasikan berpotensi munculnya ketidakadilan atau kesewenang-wenangan. Kemudian masih ada tokoh yang bernama Immanuel Kant yang mencoba membatasi kekuasaan absolut dengan pemikirannya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Integritas para penegak hukum dalam hal ini juga terkait para pimpinan nasional sangat menentukan perkembangan hukum Indonesia secara makro ataupun para pencari keadilan atas konflik hukum secara mikro, dan hukum harus melampaui batas pemaknaan peraturan perundang-undangan, karena terjemahan bebasnya adalah pencari keadilan akan datang ke kantor pengadilan, dan bukan ke kantor undang-undang. Pada pesepektif religius sebagai sumber hukum seringkali muncul ungkapan bahwa 2 dari hakim berada di negara dan 1 hakim di surga, hal ini dapat pula menjadikan interpretasi contrario ataupun a contrario, bahwa apakah hal ini menunjukkan gramatikal tentang probabilitas yang baik bahwa 33% akan berada di surga, ataukah sebaliknya dari tiga maka hanya satu probabilitas mendapatkan surga, atau lebih jauh bahwa profesi seorang hakim akan bepeluang lebih besar masuk surga daripada profesi yang lain? Mari kita terus berdiskusi karena manusia adalah makhluk yang dialogis atau berdialektika. Sebagai penutup penulis mencoba berfikir bahwa nilai fundamen hukum, yaitu kepastian, manfaat, dan keadilan, suatu saat akan berkembangan ataupun terelaborasi dengan nilai kebijaksanaan (wisdom), yang salah satu perwujudan idelanya adalah hukum yang cenderug presisi, dan putusan-putusan hakim yang mengandung nilai moral.