Oleh: Diana Novitasari/ Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Lex semper dabit remedium yang dimana mengartikan bahwa hukum selalu memberikan obat, namun pada faktanya antara das sollen yang merupakan kondisi yang diharapkan dengan das sein yang merupakan keadaan yang nyata secara faktual yang dimana tidaklah berjalan secara efektif saat ini, terbukti sebagaimana data oleh Kementrian Hukum dan HAM saat ini mencatat bahwa pelaku residivis di Indonesia semakin meningkat tinggi yang dimana saat ini sudah mencapai 55% pelaku residivis di Indonesia. Hal tersebut telah mencerminkan adanya sebuah kegagalan dalam penerapan dan efektivitas sistem hukum di Indonesia yang belum mampu mencegah seorang mantan narapidana untuk tidak mengulangi kembali akan tindakan kejahatannya sehingga tingginya angka residivis di Indonesia menunjukkan secara jelas bahwa sistem hukum hari ini belum mampu memberikan solusi dalam jangka panjang terhadap masalah kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
Pemidanaan yang diterapkan saat ini justru membuat keadaan rumah tahanan menjadi overcrowding yang dimana terpenuhinya suatu hunian melebihi batas kapasitas yang seharusnya dan menimbulkan berbagai permasalahan baru lainnya, sebagaimana data yang telah diambil dari Kementerian Hukum dan HAM bahwa ada sebanyak 55% pelaku residivis di Indonesia dan keadaan tersebut masih meningkat terus-menerus, dengan bukti tersebut telah membuktikan secara konkrit bahwa adanya kegagalan dalam sistem hukum yang diterapkan di Indonesia dan tidak memberikan jaminan bahwa hukum adalah obat. Hal ini terjadi tentunya dikarenakan berbagai faktor yang mengakibatkan ketidakefektifan hukuman (kegagalan sistem hukum) di Indonesia sehingga tingkat residivis di Indonesia justru semakin tinggi, salah satunya adalah kurangnya fokus saat pelaksanaan rehabilitasi berlangsung. Sistem pemidanaan seringkali cenderung berorientasi pada hukuman daripada memfokuskan pada rehabilitasinya, maka kurangnya program rehabilitasi yang kurang efektif ini dapat mengakibatkan pelaku kejahatan untuk kembali terlibat dalam aktivitas kriminalnya setelah keluar dari penjara, sehingga pentingnya peningkatan sistem rehabilitasi supaya setiap pelaku kejahatan setelah mereka keluar dari penjara mereka sudah memiliki bekal untuk tujuan hidup yang lebih baik lagi dan tentunya dalam sistem rehabilitasi tersebut haruslah mampu menciptakan individu yang memiliki potensi positif yang nantinya dapat dikembangkan setelah keluar dari penjara dikarenakan biasanya orang yang sudah mengalami pemidanaan hanya dipandang sebelah mata saja oleh masyarakat luas yang secara otomatis mereka akan menjadi kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh sebab itu, maka sangat diperlukan akan mutu kualitas sumber daya yang unggul juga dari para pelaku kriminal tersebut agar mereka dapat memiliki bekal untuk survive sehingga mereka tidak akan melakukan kejahatannya kembali. Tidak hanya itu saja, negara juga perlu untuk dapat memenuhi akan segala hak daripada setiap orang termasuk dengan mantan pelaku kejahatan itu sendiri, sebagaimana disebutkan pada Pasal 28 J Ayat (1) UUD 1945 bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, maka mendapatkan pekerjaan bagi mereka para mantan narapidana yang sudah keluar dari penjara juga merupakan bagian dari hak asasi manusia itu sendiri, namun sangat disayangkan hingga hari ini negara Indonesia belum mampu untuk melindungi hak tersebut sehingga berpotensi bagi mantan pelaku kejahatan untuk mengulangi kejahatannya kembali dikarenakan banyaknya mantan narapidana menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan re-integrasi sosial setelah mereka dibebaskan, sebagaimana hal ini didukung oleh data dari Biro Statistik Kehakiman bahwa ada sebanyak 60% mantan narapidana mengalami pengangguran, sehingga problematika seperti inilah yang mengakibatkan tingginya residivis saat ini di Indonesia. Oleh sebab itu, negara perlu melakukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga non pemerintah, dan sektor swasta guna membangun kemitraan untuk memberikan peluang kerja dan dukungan sosial bagi mantan narapidana.
Negara Indonesia dapat menilik pada negara Amerika Serikat yang memiliki program yang disebut The Second Chance Act yang dimana program ini hadir untuk membantu mereka (mantan narapidana) dalam pacsa pembebasannya supaya mereka dapat hidup kembali bersosial dalam masyarakat dengan baik dan mendapatkan pekerjaan yang dapat menunjang hidupnya, sehingga mereka (mantan narapidana) dapat memulai hidup barunya dengan produktif dan mampu memberikan kontribusi yang positiif. Hal ini terbukti di dalam riset penelitian ran.org yang diterbitkan pada 4 Maret 2014 bahwa di dalam penelitiannya program yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat tersebut mampu menurunkan tingkat residivis sebesar 13% yang mengartikan secara konkrit bahwa program yang telah diterapkan oleh Amerika Serikat tersebut memberikan implikasi positif dan ini dapat menjadi jawaban bagi negara Indonesia dalam mengatasi pemidanaan di Indonesia agar lebih efektif dan tentunya ini juga merupakan bagian dari perwujudan akan pemenuhan hak asasi manusia bagi mantan narapidana untuk dapat mereintegrasi sosial kembali, dan mampu mengatasi overcrowding yang saat ini masih menjadi problematika, sehingga hal ini juga turut mampu menguatkan akan sistem hukum di Indonesia.