Dr. Kelik Endro Suryono S.H., M.Hum/ Dosen Hukum Tata Negara
Baru-baru ini dunia hukum diramaikan dengan kasus pemeliharaan Landak Jawa oleh seorng warga Bali yang Bernama Nyoman Sukena (38). Nyoman Sukena dianggap melangggar Pasal 21 ayat ( 2 ) huruf a jo Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, yang ancaman hukuman pidana paling lama 5 tahun penjara dan denda paling banyak 100.000.000,00. Kasus ini menjadi sangat viral karena kemudian banyak pihak yang meminta supaya tersangka Nyoman Sukena untuk ditangguhkan, bahkan seorang anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka ikut juga memohon agar tersangka dibebaskan. Hal ini disebabkan adanya ketidaktahuan Nyoman Sukena bahwa Landak Jawa itu termasuk salah satu hewan yang dilindungi dan tidak boleh dipelihara menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990.Banyak Masyarakat yang belum paham tentang berbagai undang-undang, apalagi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, tertlebih lagi tentang kekuatan berlakunya hukum atau undang-undang.
Dalam ilmu hukum dikenal adanya teori Fiksi Hukum, ada suatu teori yang mengatakan : “soal Ignonare Legis est lata Culpa” atau fiksi hukum yang berarti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang yang telah diundangkan (A. Siti Soetami, 2005, Bandung).Selain itu, dalam prakteknya banyak Masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahn timbul Ketika banyak warga Masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut (Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Penyuluh Hukum Ahli Muda pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta). Jika berdasarkan teori fiksi hukum tersebut maka Nyoman Sukena wajib diberi sanksi hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, hal ini disebabkan Undang-Undang Nomoe 5 Tahun 1990 telah dibuat dan diundangkan sesuai tatacara yang berlaku dalm pembentukkan undang-undang, dengan demikian Nyoman Sukena bisa saja dikenakan aturan pidana dalam undang-undang tersebut.
Seorang Begawan hukum Indonesia, Profesor Dr Satjipto Rahardjo mengatakan : hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil Sejahtera dan membuat manusia Bahagia (Kompas, 2004). Pandangan ini menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan manusia. Dalam tulisannya tersebut Satjipto Rahardjo mengatakan juga “paradigma hukum progresif tidak bergerak pada aras legalistik-dogmatis, analistis-positivistik, tetapi lebih pada aras sosilogis. Hukum tidak mutlak digerakan oleh keberadaan hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi hukum juga bergerak pada aras non formal. Kemajuan dalam hukum memburtuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum. Hal tersebut dapat dilakukan oleh komunitas akademik yang progresif” (Satjipto Rahardjo, 2008).
Dalam tulisan yang lain, Satjipto (2008) juga menyebutkan law as a process, law in the makin, artinya adalah : Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkatan kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasikan ke dalam factor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Teori Progresif mengajarkan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam undang-undang tidak sekedar dilaksanakan sebagai aturan yang jika dilanggar akan dikenai sanki bagi yang melanggarnya, akan tetapi juga sebagai institusi yang mengajarkan dan menuntun Masyarakat untuk bisa hidup lebih baik lagi. Jika hukum atau undang-undang secara mutlak hanya diartikan sebagai suatu aturan yang mengandung sanksi, artinya jika dilanggar akan dikenakan sanksi pidana, maka hukum tidak akan bisa mengantarkan manussia untuk bisa hidup dengan lebih baik.
Cita-cita hukum hanya akan sekedar menjadi alat penghukum manusia saja, akan tetapi tidak bisa menjadi alat untuk mengantar manuisia menjadi lebih baik kehidupannya serta tidak bisa menjadi sebagai alat perubahan dalam Masyarakat. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem hanya digunakan untuk dasar menghukum orang yang bersalah atau melanggar undang-undang tersebut, maka undang-undang tersebut tidak akan bisa menjaga konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang ada. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 harus bersifat progresif, yaitu diberi peran dalam berproses untuk menjadi sumber daya alam hayati dan ekosistem untuk bisa berubah kearah yang lebih baik, tidak sekedar sebagai penjaga sumber daya alam hayati dan ekosistem, yang hanya akan menghukum orang bila ada yang melanggarnya.
Menjaga sumber daya alam hayati dan ekosistem memang memperlukan suatu aturan yang bersifat tegas, dan itu bisa dilaksanakan dengan undang-undang yang sudah mempunyai kekuatan berlakunya dengan Teori Fiksi Hukum, Undang-undang tetap harus ditegakkan (law enforcement). Namun demikian Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tetap harus diberlakukan secara progresif, yaitu dengan cara memberi peran sebagai alat untuk menjadi manusia bisa lebih baik hidupnya. Progresi juga bisa dilakukan dengan cara edukasi terhadap Masyarakat akan adanya undang-undang, yang berwajib tidak hanya memberlakukan hukum jika ada laporan Masyarakat adanya pelanggaran undang-undang, akan tetapi juga memberikan edukasi kepada Masyarakat terhadap adanya suatu undang-undang. Kepastian hukum memang bisa dicapai dengan penegakkan hukum, akan tetapi penegakkan hukum tidak efektif kalau hanya sekedar menghukum orang. Dengan seperti itu harapannya tidak ada lagi kasus-kasus seperti Nyoman Sukena.
Daftar Pustaka
- A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandungm 2005
- Rahmat Setiabudi Sokonagoro, LLB (School of Law UGM Yogyakarta, LLM Master Of Law Science UGM
- Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas Jakarta. 2008
- Satjipto Raharjo, saatnya mengubah siasat dari Supremasi Hukum ke Mobilisasi Hukum, Harian Kompas, Senin 26 Juli 2004