Memandang Buku “DIKTISAINTEK BERDAMPAK”

Selayang pandang buku “DIKTISAINTEK BERDAMPAK”, yang dapat dipahami sebagai dokumen strategis Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek); berfungsi bukan sekadar laporan capaian, melainkan penanda arah transformasi pendidikan tinggi Indonesia menuju paradigma baru. Uraiannya menekankan pergeseran paradigma dari pendidikan yang selama ini lebih terukur pada aspek akademik-formal ke arah pendidikan tinggi yang memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Pergeseran ini tidak lagi memandang universitas sebagai “gua pertapaan para ilmuwan”, tetapi sebagai simpul pertumbuhan daerah, pusat inovasi, dan lokus perubahan sosial-ekonomi. Transformasi kampus sebagai simpul pertumbuhan daerah, mahasiswa sebagai agen perubahan sosial, dan dosen/peneliti sebagai motor hilirisasi riset. Jika pada periode sebelumnya kebijakan lebih banyak dikaitkan dengan jargon Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, maka saat ini memasuki babak baru: “Diktisaintek Berdampak”, yang mengedepankan inklusivitas, keberlanjutan, dan kontribusi sosial. Artinya, tolok ukur keberhasilan tidak lagi sebatas jumlah publikasi, output akademik, atau standar administratif, melainkan dampak sosial-ekonomi.

Dalam kerangka strategi, buku ini memetakan akselerasi pendidikan tinggi melalui pemerataan akses beasiswa (KIP, ADik, BPI), upaya pemerataan mutu kampus daerah, dan kolaborasi antara PTN–PTS. Ada kesadaran bahwa pendidikan tinggi tidak boleh hanya menguntungkan kota-kota besar, melainkan harus membuka akses bagi mahasiswa dari daerah tertinggal. Data konkret memperkuat klaim ini: 816.167 mahasiswa penerima beasiswa KIP Kuliah pada 2025 terbukti menaikkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di berbagai daerah. Transformasi ekosistem sains dan teknologi juga digambarkan secara lebih progresif. Tidak cukup hanya berhenti pada publikasi internasional atau output riset di atas kertas, melainkan diarahkan pada hilirisasi riset dan penyemaian budaya entrepreneurial university.

Selain transformasi ekosistem riset, buku ini menekankan fondasi tata kelola yang baik. Regulasi turunan, good governance, dan penguatan kapasitas ASN menjadi pilar untuk memastikan keberlanjutan program. Aspek pengawasan juga ditekankan: mulai dari audit, review anggaran, hingga kebijakan pencegahan kekerasan di kampus sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 55/2024. Dengan begitu, pengawasan bukan sekadar mekanisme finansial, tetapi juga perlindungan hak mahasiswa dan penciptaan iklim akademik yang aman.

Paradigma “pendidikan tinggi berbasis input” bergeser menjadi “pendidikan tinggi berbasis dampak nyata”. Dengan kata lain, kurikulum, penelitian, dan pengabdian masyarakat harus didesain backward, dimulai dari masalah nyata dan indikator manfaat, bukan semata dari beban SKS atau syarat administratif. Maka memerlukan redesign kurikulum modular berbasis micro-credential, mengarusutamakan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL), memperkuat experiential learning, serta membangun jejaring internasional dalam riset dan pembimbingan. Semua itu harus tetap menjaga kepatuhan terhadap akreditasi dan pengelolaan data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).

Kebijakan terkini juga diperlihatkan dalam Permendiktisaintek No. 39/2025. Beberapa hal menonjol: micro-credential diatur eksplisit sebagai bagian pembelajaran yang sah dalam kurikulum, RPL wajib diakomodasi, dan lebih fleksibel lintas prodi, kampus, bahkan negara. Kebijakan Open Educational Resources (OER) dikuatkan dengan kewajiban penciptaan dan pemanfaatan sumber pembelajaran terbuka. Penjaminan mutu dipertegas melalui SPME dan akreditasi dengan prinsip independen, akurat, objektif, dan transparan, diikuti kewajiban status akreditasi sebelum mahasiswa diluluskan. Selain itu, PD Dikti ditegaskan sebagai sumber data utama pendidikan tinggi, terintegrasi dengan BAN-PT/LAM, sehingga proses akreditasi menjadi lebih terhubung. Pengakuan akreditasi internasional pun difasilitasi, di mana LAM bisa memberikan status akreditasi global. Masa transisi Permendiktisaintek ini maksimal dua tahun.

Banyak capaian positif ditampilkan, buku ini tidak menutup mata pada tantangan nyata. Konsistensi tata kelola masih menjadi ”pekerjaan besar”, terutama dalam hal pemerataan kualitas PTN dan PTS di daerah. Kesenjangan infrastruktur, SDM dosen, dan akses riset masih terjadi, sehingga keberhasilan program unggulan seringkali terpusat di kampus negeri/besar. Dalam konteks inilah suara dari kalangan PTS, sebagaimana mengemuka dalam Seminar Nasional “Menyelamatkan Nasib Perguruan Tinggi Swasta” yang digelar Kafegama UAJY 27 Agustus 2025. Menurut Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., keberadaan mahasiswa di PTS memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Biaya hidup yang dikeluarkan mahasiswa lebih besar daripada biaya akademik ke kampus. Karena itu, keberlangsungan PTS bukan hanya urusan akademik, melainkan juga turut menyokong denyut ekonomi lokal. PTS era ini menghadapi penurunan mahasiswa baru, tertekan dari kebijakan penerimaan mahasiswa PTN, hingga beban biaya akreditasi yang realtif tinggi. Aspirasi agar pemerintah memberi kemudahan regulasi dan dukungan finansial pun menjadi catatan penting yang perlu diperhitungkan dalam eksekusi kebijakan “berdampak”. Buku Kemenristek ini memang menjadi platform evaluasi dan perbaikan, tetapi masih terasa normatif dalam menjabarkan indikator dampak yang terukur. Misalnya, bagaimana sebenarnya parameter “dampak” itu diukur apakah melalui pengurangan angka pengangguran terdidik, peningkatan inovasi lokal, atau keberhasilan paten yang dikomersialisasikan ? Buku ini juga menyampaikan pesan yang lebih besar: pendidikan tinggi, sains, dan teknologi bukan hanya instrumen akademik atau teknokratik, tetapi kekuatan transformatif. Dalam perspektif kebijakan publik, hal ini berarti pendidikan tinggi kini dipandang sebagai motor pembangunan bangsa yang berfungsi menjawab tantangan global sekaligus memperkuat daya saing Indonesia. Beberapa pergeseran fundamental dari sekadar menguikuti standar menuju pencapaian dampak nyata, baik di level prodi maupun fakultas; governance yang memungkinkan eksperimen terukur seperti kemitraan industri, dan sistem terbuka, terintegrasi, dan berorientasi pada dampak nyata, namun diperluas agar inovasi tidak terhambat birokrasi; peran kepemimpinan akademik semakin penting untuk menyeimbangkan antara eksperimen kurikulum dan kewajiban akreditasi. Penulis berpendapat bahwa konsep keberhasilan hanya mungkin jika turut menjawab kegelisahan PTS yang tengah berjuang mempertahankan eksistensinya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top