Oleh: Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum/Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Perjalanan panjang pembahasan KUHP (WvS) yang berlaku sejak 1946 sampai kepada tonggak sejarah pada masa anggota DPR RI 2014-2019 dengan pengesahan RUU KUHP menjadi KUHP pada paripurna Selasa 6 Desember 2022 yang dipimpin Sufmi Dasco. KUHP yang baru disebut dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang berdasarkan Pasal 624 akan berlaku 3 tahun sejak diundangkan, artinya pada bulan Januari 2026 atau 2,5 tahun lagi akan berlaku. KUHP ini secara filosofis telah eksplisit bertujuan mewujudkan hukum pidana nasional berdasar Pancasila dan UUD 1945 dan nilai universal (bangsa-bangsa), disini menunjukkan bahwa nilai moralitas dijunjung tinggi. Berikutnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia berdasar Pancasila, pengarus utamaan “keseimbangan” antara kepentingan public dengan private, negara dengan individu, antara pelaku dengan korban, perbuatan dengan sikap batin, kepastian dengan keadilan.
Asas legalitas tetap diepertahankan sebagai dasar kepastian hukum, ibaratnya dalam rumpun ilmu sosial, maka hukum ini hakekatnya ilmu pasti. Namun ada perubahan yang dahulunya KUHP-WvS menjadi satu-satunya alat uji terhadap tindak pidana dan seolah given dari pemerintah (top-down) serta ukuran tindak pidana menjadi sepenuhnya hak pemerintah, pada saat ini diperluas lebih seimbang. KUHP 2023 mengakomodir living law maupun hukum adat sehingga ukuran tindak pidana juga dapat diukur dari sisi masyarakat, dengan kata lain masyarakat mendapat porsi keadilan yang bermanfaat bagi mereka.
KUHP yang menjadi backbone hukum pidana Indonesia yang merupakan konstruksi baru (rekonstruksi), lebih lanjut akan berdampak pada hukum tertulis bahkan hukum tidak tertulis (politik hukum) kedepannya. Peran yang lebih penting adalah bagaimana kesiapan aparat penegak hukum dalam menerapkan penegakan hukumnya, karena waktu terus berjalan menyongsong tahun 2026.