Universitas Widya Mataram (UWM) menggelar Upacara Dies Natalis ke-43, bertempat di Pendopo Agung Kampus Terpadu UWM, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, Selasa (7/10/2025). Salah satu acara yang cukup penting dan patut disimak dalam kegiatan tersebut adalah Orasi Ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum., alumnus UWM yang kini sebagai Dekan Fakultas Hukum UWM.
Dalam orasinya berjudul “Rekonstruksi Regulasi Tindak Pidana Menyebarkan Berita Bohong dan Menyesatkan yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen melalui Informasi dan Transaksi Elektronik Berbasis Keadilan”, Dr. Hartanto menekankan pentingnya pembaruan regulasi hukum digital agar selaras dengan nilai keadilan dan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat
Dr. Hartanto menegaskan, era digital membawa dua sisi: kemajuan besar dan ancaman nyata. “Digitalisasi membuka ruang ekonomi dan pengetahuan tanpa batas, namun juga melahirkan disinformasi dan penipuan daring yang merugikan banyak pihak,” ujarnya.
Ia menyoroti kasus binary option dan berbagai modus yang menggunakan bukti transfer palsu sebagai contoh bagaimana pelaku memanfaatkan celah multitafsir untuk menghindari jerat hukum.
Menurutnya, perlindungan hukum di ruang digital masih belum berimbang. UU ITE kerap menempatkan konsumen sebagai korban tunggal, padahal pelaku usaha dan korporasi juga dapat dirugikan oleh kampanye digital menyesatkan.
“Korban disinformasi perlu diakui secara lebih luas, tidak hanya individu, tetapi juga produsen dan lembaga usaha,” tegasnya.


Lebih lanjut, Dr. Hartanto menyerukan agar hukum nasional tidak hanya reaktif terhadap pelanggaran, tetapi adaptif terhadap inovasi digital. Ia mengusulkan rekonstruksi hukum yang menyeimbangkan perlindungan dan kebebasan berusaha, menegaskan unsur mens rea (niat jahat) dalam pemidanaan, serta mengintegrasikan pendekatan pidana, perdata, dan administratif.
“Rekonstruksi hukum bukan sekadar mengganti pasal, tetapi menanamkan nilai-nilai keadilan Pancasila dan membangun sistem hukum yang hidup, manusiawi, dan konsisten,” ujarnya.
Maka terdapat lima langkah praktis: Reformulasi pasal pidana dalam UU ITE dengan memperjelas unsur kesengajaan dan memperluas definisi korban; Harmonisasi lintas regulasi antara UU ITE, KUHP, dan UU Perlindungan Konsumen; Alternatif penyelesaian non-pidana, seperti mediasi dan keadilan restoratif, agar penyelesaian bersifat memulihkan; Sistem kontrol teknis terintegrasi, mencakup verifikasi entitas hukum, portal fakta, dan virtual police untuk pencegahan dini; Pemberdayaan publik melalui literasi digital dan klinik hukum yang menjangkau masyarakat akar rumput.
Perubahan UU ITE No. 1 Tahun 2024 yang mempertegas sanksi dan memperluas kewenangan administratif dalam pengendalian konten digital. Namun, ia mengingatkan pentingnya akuntabilitas dan transparansi agar tidak berubah menjadi “alat sensor semu.”
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik hanya berlaku bagi individu, bukan lembaga atau institusi. “Putusan ini menjadi tonggak penting agar hukum tidak dijadikan alat kekuasaan, dan kebebasan berekspresi tetap terjaga,” beber Dr. Hartanto.
Sebagai penutup, Dr. Hartanto menyerukan agar kampus menjadi motor perubahan sosial. Ia mendorong UWM memperkuat pusat kajian hukum siber, membuka mata kuliah interdisipliner (hukum, teknologi, ekonomi), serta menggiatkan penyuluhan literasi digital di sekolah-sekolah.
“Perubahan besar selalu dimulai dari pusat pengetahuan, yaitu kampus,” kutip Dr. Hartanto, dari pesan Rektor UWM.
Menurutnya, kita harus mengingat ajaran luhur “Hamemayu Hayuning Bawana”, bahwa hukum sejatinya menjaga harmoni dan keberlanjutan kehidupan (sustainable). Jika keadilan menjadi pijakan dan kebijaksanaan menjadi tuntunan maka hukum akan benar-benar menjadi cahaya bagi masyarakat.
”Bahwa hukum tanpa keadilan hanyalah alat kekuasaan, dan hukum tanpa kebijaksanaan hanyalah teks yang ’beku’,” tandas Dr. Hartanto, dalam refleksinya dalam penutup orasi.