Oleh Erna Tri Rusmala Ratnawati S.H., M.Hum/Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Oknum dosen Fakultas Teknologi Mineral di UPN Veteran Yogyakarta berinisial JS mengakui melakukan pelecehan terhadap mahasiswinya. “Saya sangat menyesali apa yang sudah saya lakukan dan memohon maaf dengan tulus kepada korban. Saya sungguh berharap bahwa korban dapat memulihkan kondisi dirinya dan kembali beraktivitas secara aman dan nyaman”. Setahun sebelumnya kasus seorang dosen berinisial PPA yang mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Buleleng, Bali ditetapkan jadi tersangka atas kasus pelecehan seksual. Sudah berulang kali berita semacam ini, sangat ironis Perguruan Tinggi yang notabenenya sebagai lambang intelektual dan moral menjadi lahan terjadinya kekerasan seksual.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), ada 29.883 jumlah kasus kekerasan yang tercatat sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, 13.156 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual dan merupakan jenis kasus yang tertinggi dan kekerasan seksual juga kerap kali terjadi di lingkungan kampus. Menurut data dari Kemen PPPA per April 2024, terjadi 2.681 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian yang serius karena Perguruan Tinggi sebagai agen generasi intelektual penerus bangsa harus terbebas dari kekerasan apapun terasuk kekerasan seksual. Kampus harus memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi mahasiswa sehingga bisa menjalani proses belajar mengajar dengan baik. Sangat diperlukan peran civitas akademika untuk melakukan antisipasi, mensosialisasikan, dan bahkan menjadi duta mencegah terjadinya kekerasan seksual. Semakin tinggi awareness dari semua pihak maka akan tercipta lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.
Terkait dengan hal tersebut, pemerintah telah berkomitmen memberikan jaminan atas perlindungan, pemulihan, penegakan hukum, dan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dengan mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tidak berhenti disitu, Kemendikbudristek juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini sangat penting karena dapat menjadi pedoman bagi perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.
Pada dasarnya tindak kekerasan seksual dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapa saja. Selain itu, kekerasan seksual juga bisa terjadi di mana saja. Kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada korban, dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial dan sangat mempengaruhi hidup dan masa depan korban. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Pengertian Tindak Pidana Kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU TPKS mengatur bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang lain sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal 1 angka 1 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menyebutkan bahwa Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Terkait dengan bentuk kekerasan seksual, Pasal 4 (1) UUTPKS, mengatur bahwa tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik dll. Demikian pula ditindaklanjuti lebih spesifik di lingkungan Perguruan Tinggi diatur dalam Pasal 5 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi dan Kekerasan Seksual.
Persetujuan Korban dimaksud pada huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau mengalami kondisi terguncang.
Kekerasan seksual dalam Permendikbudristek tersebut sangat luas baik kekerasan fisik maupun non fisik karena bertujuan untuk memberikan perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia siapapun itu, khususnya di lingkungan perguruan tinggi. Apabila dikaitkan dengan dosen UPN, maka tindakan dosen UPN yang melakukan tindakan merangkul dan mencium pipi mahasiswi tersebut telah melanggar ketentuan pasal 5 Kemenristek Dikti Nomor 30 Tahun 2021 huruf l yaitu melakukan tindakan “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.” Terjadinya kekerasan seksual di kampus yang dilakukan oleh oknum dosen terhadap mahasiswa sering dipicu karena adanya relasi kuasa subordinate antara dosen dan mahasiswa, karena tidak ada pilihan lain sebagai bargaining terkait dengan problema perkuliahan (sebagai contoh korban mahasiswi UPN tersebut angkatan 2016 yang belum lulus dan terancam DO). Disamping itu terjadinya kekerasan seksual di kampus juga dipengaruhi adanya ancaman atau iming-iming karena kedudukannya atau kewenangan misalnya terkait nilai, proses instan ataupun fasilitas kemudahan lainnya sehingga para mahasiswa atau mahasiswi terpaksa melakukannya. Relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat si korban memiliki ketakutan untuk melapor dan hal ini semakin menyuburkan praktek kekerasan seksual di kampus dengan dalih sismbiosis mutualisme. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus. Selain relasi kuasa penyebab berkembang dan maraknya kekerasan seksual di kampus adalah melekatnya karakter victim-blaming di masyarakat bahwa sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan seksual merupakan hal yang tabu atau tidak pantas untuk dipublikasikan karena justru akan mencoreng nama baik korban dan keluarganya sehingga ketika ada keberanian dari korban melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban dengan dalih korban menggunakan baju terbuka, berperilaku genit sehingga mendorong pelaku melakukan kekerasan seksual.
Pada kasus Dosen UPN ada lima poin sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku JS, yaitu sanksi pencopotan dari Ketua Jurusan di Fakultas Teknologi Mineral dan tidak dapat diberikan tugas tambahan dan/atau jabatan struktural sampai dengan pensiun. Menyatakan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa Satgas PPKS UPNVY, Diberhentikan sementara dari tugas sebagai dosen pada program sarjana selama 2 tahun. Memberikan penggantian kerugian yang dialami oleh korban dengan difasilitasi oleh Satgas PPKS UPNVY; dan Setelah menyelesaikan sanksi administratif, wajib mengikuti program konseling di lembaga yang ditunjuk oleh Satgas PPKS UPNY dengan pembiayaan dibebankan pada pelaku sebelum kembali bekerja di UPNVY. Sanksi yang telah diberikan oleh UPNVY tersebut memang telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Kemenristek Dikti Nomor 30 Tahun 2021 berupa sanksi administratif maupun UUTPKS terkait dengan Hak restitusi, dimana menurut Pasal 30 UUTPKS, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan berupa: ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual; penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun demikian sanksi tersebut belum cukup karena masih ada sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 5 UUTPKS yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara non fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”.
Sanksi administrasi seringkali tidak membuat jera para pelaku kekerasan seksual sehingga pemidanaan salah satu alternatif untuk lebih menegaskan bahwa negara benar-benar serius memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Disamping itu pentingnya sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada Mahasiswa; Pendidik; Tenaga Kependidikan; Warga Kampus; dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma tentang konsep kekerasan seksual, sebagai suatu kejahatan harkat dan martabat sehingga tidak menjadi korban kekerasan seksual.
Demikian juga Perguruan tinggi juga harus secara tegas mengecam keras terhadap kekerasan seksual di lingkungan kampus, bukan justru menutupi dengan mengatasnamakan nama baik, citra atau reputasi kampusnya, karena Perguruan tinggi sebagai agen intelektual pewaris bangsa ini.