Oleh: Laili Nur Anisah, S.H., M.H / Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Kemendikbudristek dalam upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual Kemendikbudristek mengeluarkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Permendikbudristek tersebut dimaksudkan sebagai dasar hukum diprosesnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Namun, terdapat beberapa substansi bermasalah setelah Permendikbudristek disahkan, salah satunya adanya frasa “Tanpa Persetujuan Korban” yang memicu asumsi bahwa Permendikbudristek tersebut mendorong terjadinya seks bebas di lingkungan Perguruan Tinggi.
Pemerintah sendiri telah melakukan upaya preventif dan represif yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). efinisi kekerasan sendiri tidak tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual di luar KUHP tersebar dalam beberapa undang-undang, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang.
Peraturan perundang-undangan di atas ternyata tidak cukup kuat membendung laju pertambahan kasus kekerasan seksual terutama di lingkungan perguruan tinggi. Kemendikbudristek kemudian mengeluarkan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS). Permendikbud PPKS tersebut mengikat secara hukum perguruan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kemendikbudristek sendiri tidak melakukan pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap pendidikan dasar dan pendidikan menengah karena sudah ada di diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun untuk kondisi perguruan tinggi, peraturan perundang-undangan di atas tidak lagi bisa digunakan untuk menjerat pelaku, karena pelaku dan korban memiliki relasi kuasa yang sulit dibongkar, bisa terjadi pelakunya adalah orang yang memiliki kekuasaan dibandingkan korban, dosen-mahasiswa, dosen-tenaga pendidik, mahasiswa-mahasiswa, dekan-dosen. Relasi kuasa dalam hubungan-hubungan tersebut menjadi faktor penghambat terungkapnya bahkan diselesaikannya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Selain relasi kuasa yang menyulitkan terungkapnya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, faktor peraturan perundang-undangan juga menyumbang bertambah peliknya penyelesaian kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pengaturan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi hanya bisa dijerat oleh pasal yang ada di dalam KUHP. Perkembangan teknologi dan globalisasi membuat jenis tindak pidana juga berkembang dan bertambah banyak, salah satunya modus dalam tindak pidana kekerasan seksual. Pasal-pasal kekerasan seksual yang ada di dalam KUHP tidak lagi bisa mengakomodir perkembangan tersebut, sehingga peluan pelaku kekerasan seksual bebas semakin terbuka. Disamping itu, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hingga penelitian ini belum disahkan oleh pemerintah. Praktis kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami kekosongan hukum menghadapi kondisi demikian. Frasa “Tanpa Persetujuan Korban” tidak bisa dimaknai secara argumentum a contrario mendorong adanya kebebasan seks bebas di perguruan tinggi. Ada kerentanan korban yang tidak terlihat dan juga tuduhan yang merugikan bila frasa tersebut dihilangkan dalam konteks pasal Permendikbudristek 30/2022. Frasa tersebut harus dibuktikan tidak hanya untuk melindungi korban, namun juga ada aspek perlindungan terhadap pelaku, meskipun jarang dijumpai. Frasa “Tanpa Persetujuan Korban” tidak bisa diartikan secara gramatikal berkebalikan dari teks yang dimaksud, sehingga menimbulkan tafsir yang tidak hanya merugikan korban, namun juga mengandung tuduhan terhadap institusi perguruan tinggi. Frasa “Tanpa Persetujuan Korban” diperlukan untuk menjamin hak korban juga memberikan kepastian hukum terhadap terduga pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi. Oleh karenanya, frasa tersebut tidak perlu dihapus. Rekomendasinya yakni frasa “Tanpa Persetujuan Korban” tidak perlu dihilangkan, tetap dicantumkan. Pelaksanaan Permendikbudristek 30/2022 tetap perlu dikawal dan dievaluasi bersama seluruh sivitas akademika Perguruan Tinggi.