PUSAT STUDI GENDER DAN ANAK FAKULTAS HUKUM UWM PERINGATI 16 HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Dalam rangka memperingati rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Pusat Studi Gender dan Anak FH UWM dan Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia menyelenggarakan diskusi dan kajian yang bertajuk “Mendengar Suara Ibu-Ibu Nguter: Can The Subaltern Speak?”. Diskusi ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum, Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.H dan Wakil Dekan II Said Munawar S.H., M.H. Dari FAMM Indonesia diwakili oleh Nur Khofifah, dan dimoderatori oleh Direktur Pusat Studi Gender dan Anak Fakultas Hukum UWM, Laili Nur Anisah.

Diskusi diselenggarakan pada hari Rabu Tanggal 18 Desember 2024, berlangsung lebih dari 3 jam. Acara ini membedah dan menganalisa teknik atau cara advokasi yang dilakukan oleh masyarakat kecamatan Nguter Sukoharjo dalam melawan pencemaran lingkungan yang menimbulkan polusi bau dan polusi air yang dilakukan oleh PT. Rayon Utama Makmur (PT. RUM) sejak tahun 2017. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat Nguter dari mulai cara litigasi hingga cara-cara non litigasi. Jalur litigasi melalui gugatan class action secara perdata dan dan pidana. Namun vonis yang dijatuhkan tidak berpihak pada masyarakat Nguter. Diskusi berlangung dalam pembahasan bagaimana perusahaan bisa menjadi pelaku pencemaran lingkungan, bagaimana vonis pengadilan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan serta langkah yang diambil oleh masyarakat Nguter terutama perempuan terhadap hal tersebut.  

Penolakan dilakukan oleh masyarakat Nguter baik laki-laki maupun perempuan, namun sorotan aksi sengaja difokuskan pada perempuan dalam hal ini ibu-ibu Nguter pada saat melakukan penolakan pencemaran lingkungan PT. RUM. Hal ini disebabkan beberapa hal, pertama perempuan memiliki resiko lebih tinggi jika terjadi pencemaran lingkungan, karena fungsi reproduksi dan sosialnya berbeda dengan laki-laki. Kedua, diperlukan strategi memecah kebuntuan struktural yang diciptakan oleh kapitalis dan patriarki sacara sekaligus. Advokasi yang dilakukan oleh Ibu-ibu cenderung bersifat damai, ibu-ibu meskipun menggelar aksi di satu sisi lainnya ibu-ibu juga memasak dan memberi makan para polisi yang menjaga demo. Banyak tantangan saat mendampingi masyarakat Nguter, salah satunya tantangan bahwa tidak semua masyarakat dapat menulis atau membaca, padahal selama ini 2 metode tersebut yang digunakan untuk mengekspresikan keresahan pencemaran lingkungan. Cara yang dipilih yakni menggunakan fotovoice, yakni teknik pengambilan gambar dengan kamera terhadap lingkungan yang menggambarkan rasa dari yang memotret, cara tersebut digunakan oleh warga Nguter sebagai salah satu media perlawanan. Diskusi diadakan di kampus, tidak lepas dari tugas Perguruan Tinggi yang menjunjung Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni kehadiran perguruan tinggi dapat membawa manfaat sebanyak-banyaknya kepada masyarakat, terutama masyarakat yang tidak memiliki suara dan terpinggirkan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top