Oleh: Steven P.H Tampubolon / Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Dinamika peredaran narkotika di Indonesia menjadi fokus utama evaluasi secara nasional yang perlu segera diatasi guna menyelamatkan generasi bangsa Indonesia. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Narkotika tidak mengenal batasan usia, orang tua, generasi muda, remaja bahkan anak-anak menjadi pengguna dan pengedar narkotika. Narkotika tidak hanya beredar di perkotaan besar di Indonesia, tapi juga sekarang merambah ke wilayah-wilayah kecil. Indonesia dahulunya adalah negara transit atau lalu lintas perdagangan gelap narkotika karena melihat letak geografis Indonesia yang merupakan negara yang memiliki jalur lintas yang sangat strategis berubah menjadi negara produsen narkotika. Hal ini diketahui karena terungkapnya beberapa laboratorium yang memproduksi narkotika di Indonesia. Era globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi, kemajuan perdagangan dan kemajuan pesatnya industri serta pariwisata telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai negara produsen narkotika.
Pecandu narkotika di Indonesia masih dalam relatif sangat besar terutama di daerah Sumatra Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah hingga Surabaya, dan Kalimantan Timur. Jumlah pengguna narkotika pada tahun 2022 sampai di angka 879 orang serta ditemukan jumlah barang bukti dalam rupiah yang diperkirakan sebesar Rp.1,127,254,197,376,00 atau sekitar 1,1 Triliun yang dimana hal ini merupakan jumlah barang yang sudah diamankan oleh pihak BNN dan pihak kepolisian. Berdasarkan data KPK terdapat 157 kasus narkotika yang melibatkan oknum polisi dan BNN 66 yaitu ditemukannya kasus penggelapan barang bukti narkotika yang berujung menimbulkan problematika baru yaitu tindak pidana korupsi, diketahui pada data tersebut bahwa pihak kepolisian bekerjasama dengan tersangka untuk menghilangkan barang bukti yang sudah disita untuk membantu peralihan status tersangka menjadi korban sehingga tersangka yang seharusnya dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana peredaran narkotika berubah statusnya menjadi korban penyalahgunaan narkotika akibat hilangnya bukti yang sudah didapat karena kurangnya transparansi pihak kepolisian dalam pelaporan hasil sitaan barang bukti. Dimaksudkan korupsi disini adalah terjadinya unsur penyuapan terhadap aparat kepolisian, korupsi adalah praktik yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, biasanya dalam bentuk penyuapan, nepotisme, atau praktik ilegal lainnya. Dalam konteks penyebaran narkotika, korupsi dapat merujuk pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat atau aparat penegak hukum untuk memfasilitasi atau melindungi peredaran narkotika ilegal bahkan membantu mengubah status tersangka tindak pidana peredaran narkotika menjadi status korban penyalahgunaan pengonsumsian narkotika.
Semua subjek hukum secara otomatis terlibat dalam proses penegakan hukum dalam setiap hubungan hukum apapun. Barangsiapa memberlakukan peraturan atau melakukan aturan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dalam arti sempit, yakni ditinjau dari segi subjeknya, penegakan hukum diartikan hanya sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu untuk memastikan bahwa supremasi hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Penegakan hukum selalu menjadi fenomena sosial yang kontroversial. Seringkali terdapat perbedaan yang mencolok dalam hasil keputusan hakim dalam kasus serupa menarik bagi perhatian publik. Salah satu persoalan yang mengejutkan dalam penegakan hukum adalah keberadaan aparat penegak hukum yang justru menjadi pihak yang membantu meloloskan tersangka narkotika bahkan terlibat sebagai pengguna aktif narkotika. Kondisi penegakan hukum yang diharapkan justru bertolak belakang dengan harapan masyarakat, dimana aparat penegak hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, ternyata mereka justru menggunakan kekuasaannya untuk meraih keuntungan dengan bekerjasama dengan tersangka tindak pidana peredaran narkotika dan bahkan ada yang menjadi pengguna aktif narkotika. Pemanfaatan posisi atau jabatan untuk memudahkan jalannya peredaran narkotika tak jauh dari kegiatan penggunaan informasi secara rahasia atau kebijakan internal dengan tujuan untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok. Permasalahan penyalahgunaan kekuasaan ini bukanlah hal tabu lagi di dalam masyarakat Indonesia terutama sejak terungkapnya kasus narkotika yang melibatkan Teddy Minahasa yang dimana beliau di pidana akibat melakukan penjualan ulang alat bukti narkotika yang mengakibatkan disintegritas kepolisian dalam menangani kasus narkotika, tentunya hal ini menjadi kegagalan dan menimbulkan kredibilitas penegak hukum dalam mengatasi kasus tindak pidana narkotika, yang dimana aparat hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk memberikan perlindungan ternyata menjadi salah satu yang terlibat dalam merusak generasi bangsa Indonesia. Tindakan penerimaan suap oleh pejabat yang mendukung peredaran narkotika telah melanggar ketentuan Undang-Undang Narkotika yang berlaku dan dapat dihukum berdasarkan pasal-pasal yang menegaskan larangan dan sanksi terhadap peredaran narkotika. Pejabat yang menerima suap dinilai telah memberikan perlindungan terhadap peredaran narkotika dengan tidak melakukan penindakan atau pengawasan yang seharusnya dilakukan. Hal ini terjadi karena aparat penyidik menghentikan penyelidikan dan memberikan informasi rahasia kepada sindikat narkotika sehingga hukuman yang seharusnya bisa diberikan menjadi sulit karena kurangnya bukti yang di dapat akibat kebocoran data informasi dan membuat putusan perkara yang dipersidangkan tidak mengambil tindakan hukum yang sesuai. Penerimaan suap oleh pejabat dalam konteks seperti ini merusak integritas sistem hukum karena memberikan celah bagi kegiatan ilegal untuk berkembang tanpa hambatan. Penyalahgunaan jabatan dalam penegakan hukum narkotika juga dapat merugikan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan dan transparansi penanganan kasus narkotika.
Pasal 1 ayat (5) KUHAP menyatakan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan[1] dan pihak yang berwenang melakukan penyidikan yaitu aparat hukum diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan terkait peran siapa saja yang diberi wewenang untuk melakukan tugas penyidikan, yaitu pertama pejabat polisi negara Republik Indonesia dan yang kedua pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Namun, sangat disayangkan banyaknya ditemukan di Indonesia aparat hukum yang justru tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajibannya. Tulisan ini hadir untuk memberikan jawaban berupa solusi yang efektif untuk mewujudkan aparat hukum yang transparansi.
Untuk mewujudkan transparansi aparat hukum yang pertama kali perlu dilakukan adalah dengan mereformasi sistem hukum yang ada saat ini. Tujuan hukum harus memenuhi tiga aspek, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Nilai-nilai tersebut seringkali dimaknai sebagai tujuan yang seharusnya dituangkan dalam suatu produk hukum dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan hukum harus dilaksanakan agar peraturan atau aturan hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang memenuhi syarat untuk memenuhi ketiga aspek tersebut secara sempurna. Namun, kebenaran ketiga aspek tersebut atau nilai yang menjadi tujuan terbentuknya produk hukum, walaupun pada konteks tertentu, tentunya ada produk hukum yang lebih diunggulkan antara aspek satu dengan aspek lainnya. Perlunya penelitian yang lebih luas dari segi kebenaran yang dimana hukum harus menciptakan keadilan yang sempurna, memberikan kepastian dan memberi manfaat bagi masyarakat. Pandangan hukum menjadi tidak adil adalah ketika hukum tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal seperti perilaku yang “menyimpang” dari prinsip universal yaitu ketiga aspek hukum tersebut, maka ini merupakan anomali yang harus dikoreksi karena bertentangan dengan nilai fundamental tersebut. Hukum dibuat dengan tujuan agar setiap individu dan setiap penyelenggara negara dalam berperilaku menjaga ikatan sosial sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang berpotensi merugikan supremasi hukum.
Transparansi berasal dari kata transparan yang artinya jelas, nyata dan terbuka. Kata transparansi dapat berarti kejelasan atau keterbukaan informasi. Transparansi dapat dilihat sebagai prinsip yang menjamin akses untuk terciptanya keadilan dalam supremasi hukum. Oleh sebab itu, perlunya adanya reformasi hukum untuk dapat menciptakan transparansi dalam penyidikan terhadap kasus tindak pidana narkotika. Selain itu, perlunya penguatan sistem fungsi digitalisasi dengan cara memasang Body Worn Camera (Kamera yang terpasang di seragam penyidik). Pemasangan kamera pada seragam petugas dapat memberikan rasa aman untuk masyarakat dan petugas itu sendiri karena dengan begitu kamera dapat membantu petugas dalam membuktikan segala jenis tindakannya yang sudah sesuai dengan SOP dan etik lembaga terkait. Selain itu, pemasangan kamera ini juga dapat membantu badan pengawas independen dalam menyelesaikan sengketa hukum yang kerap terjadi dalam penerapan hukum secara praktis didalam masyarakat, penerapan praktik hukum sering menjadi isu dan masalah yang dapat mengancam status quo dalam masyarakat sipil dan merusak hubungan dengan aparat hukum. Kemudian pemasangan Dashcam (Kamera Pemantau di mobil patroli). Pemasangan kamera pada dashcam sendiri dapat memberikan banyak manfaat, seperti dapat membantu petugas yang gagal mengejar TO (Target Operasi) sehingga dengan adanya dashcam maka Target pengejaran dapat diperiksa lebih jauh karena sudah terekam tersangka pada dashcam tersebut, maka transparansi juga dapat tercipta dengan adanya dashcam ini, dimana segala sesuatu tindakan antara aparat hukum dan warga sipil dapat secara langsung terekam. Apabila ada kejadian tidak diinginkan seperti penyuapan, penyerangan dan pelanggaran hukum lainnya langsung terekam karena memiliki bukti yang kuat untuk membuktikannya, ditambah dengan membentuk komisi pengawas independen yang bertugas mengawasi perilaku petugas dan menangani pengaduan masyarakat, yang dimana keberadaan komisi bersifat objektif dan non-struktural agar terwujudnya aparat hukum yang transparan. Dengan reformasi regulasi dan penguatan sistem digitalisasi yang tepat, diharapkan upaya pemberantasan peredaran narkotika dapat berjalan lebih efektif dan akuntabel sehingga tingkat penyalahgunaan narkotika di masyarakat dapat tertuntaskan.
Satu hal penting yang perlu dikemukakakn adalah masih tingginya angka peredaran narkotika dengan tingkat deteksi dan penindakan yang belum optimal. Selain itu, masih terdapat missconduct serta minimnya transparansi dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus narkotika. Oleh sebab itu, langkah strategis reformasi regulasi yang perlu ditempuh adalah dengan merevisi regulasi pidana narkotika yang ada dan memperkuat sistem digitalisasi guna menciptakan transparansi. Dari sisi aparat penegak hukum, penerapan body worn camera dan dashcam dinilai penting untuk meningkatkan akuntabilitas. Selain itu, standarisasi prosedur operasional yang jelas dan terbuka, pembentukan komisi pengawas independen, serta keterlibatan masyarakat sipil/LSM dalam pengawasan juga akan sangat bermanfaat. Pada tataran teknis, pemanfaatan basis data terintegrasi dan digitalisasi proses administrasi narkotika harus terus ditingkatkan, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun pengawasan. Dengan reformasi regulasi dan digitalisasi yang tepat, diharapkan upaya pemberantasan peredaran narkotika dapat berjalan lebih efektif dan akuntabel sehingga tingkat penyalahgunaan narkotika di masyarakat dapat terus ditekan.
[1] Pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana