MENYEIMBANGKAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN PERLINDUNGAN DIGITAL

Di era digital yang semakin maju, Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan kebutuhan akan perlindungan digital. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tahun 2008 diubah pada tahun 2016 dan telah diubah lagi untuk kedua kalinya pada tahun 2024, telah menjadi pusat perdebatan antara pemerintah, aktivis hak digital, dan masyarakat umum.Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hak ini juga diakui secara internasional melalui Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, perkembangan teknologi informasi telah menciptakan lingkungan baru di mana ekspresi dapat menyebar dengan cepat dan luas, terkadang membawa dampak negatif seperti penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, atau pelanggaran privasi.Hal ini mendorong pemerintah untuk mengadopsi UU ITE sebagai upaya untuk mengatur interaksi digital dan melindungi masyarakat dari kejahatan siber.

Meskipun dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, implementasi UU ITE sering dikritik karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan rentan disalahgunakan.Beberapa pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27 dan 28, dianggap memiliki rumusan yang terlalu luas dan multi-tafsir, sehingga berpotensi mengkriminalisasi ekspresi yang seharusnya dilindungi. Studi yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan bahwa antara tahun 2016-2020, terdapat peningkatan signifikan dalam kasus-kasus yang terkait dengan UU ITE, dengan banyak di antaranya melibatkan ekspresi yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang efek mendinginkan (chilling effect) terhadap kebebasan berekspresi di ruang digital Indonesia.

Menanggapi kritik dan kekhawatiran publik, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menyeimbangkan implementasi UU ITE. Pada tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Surat Edaran yang memberikan pedoman interpretasi untuk pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE. Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan dan mencegah penafsiran yang terlalu luas terhadap pasal-pasal tersebut. Selain itu, pemerintah juga telah membentuk tim kajian untuk mengevaluasi dan merevisi UU ITE. Tim ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan masyarakat sipil. Proses ini mencerminkan pengakuan akan perlunya pendekatan yang lebih seimbang dan inklusif dalam mengatur ruang digital.

Dalam upaya mencari solusi, Indonesia dapat belajar dari pengalaman dan praktik terbaik di negara lain. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Pendekatan berbasis hak asasi manusia: Laporan Pelapor Khusus PBB tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi menekankan pentingnya regulasi yang proporsional, transparan, dan memiliki pengawasan independen. Pendekatan ini menekankan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi harus memenuhi standar legalitas, legitimasi, dan proporsionalitas.
  2. Tanggung jawab platform: Jerman, dengan Network Enforcement Act (NetzDG), mewajibkan platform media sosial untuk menghapus konten ilegal dalam waktu tertentu. Meskipun undang-undang ini juga menuai kritik, pendekatan yang lebih menekankan pada tanggung jawab platform daripada pengguna individu dapat menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan.
  3. Regulasi konten berbahaya: Uni Eropa telah mengadopsi Digital Services Act (DSA) yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan transparan. DSA menetapkan kewajiban bagi platform digital untuk menangani konten ilegal dan berbahaya, sambil tetap melindungi hak-hak fundamental pengguna.

Selain pendekatan regulasi, peningkatan literasi digital masyarakat juga memainkan peran kunci dalam menyeimbangkan kebebasan berekspresi dan perlindungan digital. Program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak digital, etika berinternet, dan kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis dapat membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan bertanggung jawab.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk meningkatkan literasi digital, termasuk integrasi materi literasi digital ke dalam kurikulum sekolah dan program pelatihan untuk guru. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil dalam hal ini sangat penting untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat.Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul tantangan-tantangan baru yang perlu diantisipasi dalam kerangka hukum dan kebijakan. Misalnya, perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi deepfake menimbulkan pertanyaan baru tentang otentisitas konten dan potensi penyalahgunaan. Regulasi yang adaptif dan fleksibel diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini tanpa menghambat inovasi atau membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan.

Menyeimbangkan kebebasan berekspresi dan perlindungan digital di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan revisi undang-undang, penguatan literasi digital masyarakat, dan dialog berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan industri teknologi. Revisi UU ITE harus mempertimbangkan standar internasional hak asasi manusia, praktik terbaik global, dan konteks lokal Indonesia.Penting untuk diingat bahwa keseimbangan ini bukanlah titik statis, melainkan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan perubahan teknologi dan masyarakat. Oleh karena itu, evaluasi dan penyesuaian regulasi secara berkala sangat penting untuk memastikan bahwa kerangka hukum tetap relevan dan efektif.Hanya dengan upaya bersama dan komitmen untuk melindungi baik kebebasan berekspresi maupun kepentingan publik, Indonesia dapat menciptakan ekosistem digital yang aman, inklusif, dan menghormati hak asasi manusia. Tantangan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat dalam membentuk masa depan digital Indonesia.

Sumber

Chesney, R. & Citron, D. (2019). “Deep Fakes: A Looming Challenge for Privacy, Democracy, and National Security”. California Law Review, 107(6), 1753-1820.

European Commission. (2022). “The Digital Services Act package”.

Human Rights Watch. (2023). “Indonesia: Amend Law to End Digital Authoritarianism”.

Institute for Criminal Justice Reform. (2022). “Evaluasi Penerapan UU ITE di Indonesia”.

Institute for Criminal Justice Reform. (2021). “Tren Penerapan Pasal-Pasal UU ITE di Indonesia 2016-2020”.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). “Program Literasi Digital Nasional”.

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). “Laporan Tim Kajian UU ITE”.

Nugroho, Y. et al. (2020). “Disinformation and Democracy in Indonesia”. Centre for Innovation Policy and Governance.

Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Batasan dan Pedoman Pengecualian dalam Implementasi UU ITE.

Tworek, H. & Leerssen, P. (2021). “An Analysis of Germany’s NetzDG Law”. Transatlantic High Level Working Group on Content Moderation Online and Freedom of Expression.

United Nations General Assembly. (1948). Universal Declaration of Human Rights. UN General Assembly.

United Nations Human Rights Council. (2022). “Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression”.

UNESCO. (2021). “Digital Literacy Global Framework”.

Peraturan Perundag-Undangan:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, direvisi oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E ayat (3).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top