Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial, Hukum, Pertahanan, Keamanan
Oleh: Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum
Politik biaya tinggi masih terjadi dan makin tinggi, dulu lembaga legislative seolah seperti tukang stempel, sekarang setelah reformasi “pendulum” bergeser dari eksekutif dan legislative. Ekonomi biaya tinggi karena fenomena ”Abuse of Power” seperti tampak diberbagai pemberitaan pada penghujung tahun 2023 ini. Hak politik berkorelasi dengan kemampuan kapital, yang mudah kita lihat biaya politik menjadi legislatif yang makin tinggi. Outlook 2024 kemungkinan masih sama, kecuali Presiden terpilih nantinya berani “out off the box”. Menurut Prof. Edy Suandi Hamid, yang berperan besar dalam PDB di Indonesia bukan investasi semata tapi, konsumsi rumah tangga (56%, 57,65%, 5,5%, 51,9% di tahun 2022), ia mempredikasi akan terus meningkat. Dimasa kampanye politik terkhusus legislative dimungkinkan masih akan diwarnai ”money politic”, kemudian akan disambug pilkada serentak; perekonomian negara kita tidak sekuat negara maju, yang tidak memiliki sensitifitas tinggi (ketergantungan) dengan perdagangan internasional. Pengaruh perdagangan internasional sangat tinggi bagi Indonesia, karena banyak bahan yang masih diimpor. Pengaruh perekonomian global terhadap Indonesia bisa saja negatif, dan pertumbuhan ekonomi saat ini diposisi terendah. Hal yang masih berpeluang dilakukan untuk memperbaiki perekonomian kita adalah: PCI kita kecil yang masih dapat ditingkatkkan, sektor Perkebunan, Perikanan, Kakao, Surplus demografi tinggi (usia produktif lebih tinggi) dengan penciptaan lapangan kerja, dan tingkat korupsi (jika bisa diturunkan). Uraian diatas kami sarikan dari diskusi terbatas Univ. Widya Mataram, 28 Desember 2023, dengan Keynote Speech: Rektor UWM, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Narasumber adalah Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si, Dr. Wing Wahyu Winarno, dan Dr. Roni Sulistyanto Luhukay, S.H., M.H. serta Puji Qomariyah, S.Sos., M.Si.. Acara ini dimoderatori oleh Ronny Sugiantoro V dari Kedaulatan Rakyat; kemudian yang juga menarik Dr. Suparman Marzuki dalam kesempatannya menyatakan prihatin dengan kondisi demokrasi dan hukum akhir-akhir ini.
Penulis yang mengikuti diskusi ini berpendapat bahwa Demokrasi Indonesia masih didominasi oleh para pemimpin dari 3 (tiga) bidang: politik, bisnis, dan purna militer. Dapat dibayangkan jika ada tokoh yang memiliki 3 bidang tersebut secara bersamaan, maka kekuatannya tentu sangat hebat, notabene harapannya kehebatan untuk mensejahterakan rakyat tentunya, meski tetap saja terdapat bayang-bayang ”Abuse of Power” dan Power tends Corrupt. Interpretasi lama menunjukkan bahwa para pemimpin nasional masih terdapat keterkaitan baik langsung ataupun tidak langsung dengan keluarga (Alm) Presiden Sukarno dan keluarga (Alm) Presiden Suharto, namun saat ini Presiden Jokowi menempatkan posisi dirinya cukup sentral. Jargon politik lama adalah kader/simpatisan pada tataran terbawah diharapkan loyal kepada partai politik masing-masing, namun disisi lain para petinggi politik berkoalisi untuk kepentingan-kepentingan visi misi mereka. Semoga siapapun yang terpilih akan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan tidak sebatas partai maupun kelompok masing-masing. Jika boleh memprediksi kedepannya akan semakin ”miskin” oposisi, karena reaksi alamiah setiap orang/partai akan berharap turut menikmati ”kue” kekuasaan. Namun dalam konteks berfikir positif seharusnya konstruksi yang dibangun adalah semangat kegotong-royongan, terlepas dari posisi penguasa ataupun oposisi. Selintas mengamati beberapa kali debat Capres/Cawapres tampak bahwa yang menarik perhatian adalah janji-janji politik yang kesemuanya baik, namun yang lebih baik tentu mereka yang menjanjikan ”sesuatu” yang langsung dapat dinikmati rakyat dan tidak melalui proses yang berbelit-belit (karena cara berfikir rakyat pada umumnya adalah simpel dan sederhana), maka paslon yang berkampanye dengan program-program yang prosesnya untuk dinikmati rakyat tidak dapat secara langsug, kemugkinan tidak mendapat suara maksimal.
Setiap kali perhelatan politik, maka investor terkhusus investor dari luar negeri pasti akan wait and see, mengingat investasi akan mengharapkan kestabilan politik dan arah regulasi negara tujuan. Sedangkan investasi dalam negeri selain bergantung pada regulasi yang akan datang, juga tergantung keamanan saat ini dan pasca Pilpres; maka pada masa kampanye, roda perekonomian akan cenderung stagnan. Sebagai penutup, penulis berharap pemimpin yang terpilih di 2024, baik itu Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD adalah negarawan yang memiliki kearifan lokal sekaligus cara berfikir holistik meski di dunia fana, yang terbatas ruang dan waktu ini. Persaingan global akan makin ketat ditengah keterbatan sumber daya/ sumber daya alam, dan rakyat Indonesia yang berjumlah 278 juta jiwa ini membutuhkan kearifan mereka untuk menitipkan sebagian nasibnya.