Oleh: Asma Karim, S.H., M.H (Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram)
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) saat ini memiliki dinamika yang cukup pesat, dan dampak dari adanya perkembangan HKI tersebut tidak saja dinikmati oleh pemilik karya intelektual tersebut, namun juga pihak lain yang diberi kewenangan untuk memanfaatkan karya tersebut dan mendapatkan manfaat ekonomi dari karya tersebut. Implikasi dari manfaat ekonomi HKI tersebut juga memberikan manfaat bagi negara melalui pendapatan pajak, sehingga tidak heran jika saat ini banyak negara yang menjadikan HKI sebagai salah satu tulang punggung ekonomi negaranya. Untuk mengapreasiasi karya intelektual tersebut negara kemudian mengakomodirnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional sebagai wadah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemilik karya tersebut.
HKI sebagaimana dimaksud merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak atas suatu karya atau inovasi, sehingga mereka dapat memperoleh manfaat ekonomis dari hasil kreativitas intelektualnya, yang secara garis besar nya terbagi atas pertama :Hak Cipta; kedua : Hak Kekayaan Industri yang meliputi : Merek, Paten, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ( DTLST), Perlindungan Varietas Tanaman serta Hak Kekayaan Komunal berupa Indikasi Geografis, serta Kekayaan Intelektual Komunal (KIK), antara lain Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), Pengetahuan Tradisonal (PT), Sumber Daya Genetik (SDG) dan Potensi Indikasi Geografis.
Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif yang mengatur penggunaan HKI sebagai objek jaminan utang dalam bentuk jaminan fidusia di sektor keuangan, termasuk perbankan, yang mana pada ketentuan pada Pasal 7 ayat 1 dan 2 PP No. 24 tahun 2022 menyebutkan bahwa “Pembiayaan berbasis Kekayaan Intelektual diajukan oleh Pelaku Ekonomi Kreatif kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank. Persyaratan pengajuan Pembiayaan berbasis Kekayaan Intelektual paling sedikit terdiri atas: proposal Pembiayaan; memiliki usaha Ekonomi Kreatif; memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual produk Ekonomi Kreatif; dan memiliki surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual.
Keberadaan HKI sebagai jaminan fidusia pada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud tentunya memberikan angin segar bagi masiyarakat atau calon nasabah yang memiliki berbagai kekayaan intelektual dapat dimungkinkan untuk dijadikan sebagai objek jaminan fidusia sehingga lembaga keuangan bank dan non-bank dapat menggunakan HKI sebagai jaminan utang dalam bentuk jaminan fidusia ( ketentuan Pasal 9 ). HKI sebagai objek jaminan fidusia ini harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana dalam Pasal 10 PP tersebut yang menyebutkan bahwa “ Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang adalah pertama: Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan kedua : Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain.
Namun demikian penerapan HKI sebagai jaminan fidusia atau jaminan hutang di lembaga keungan terkhusus lembaga perbankan dalam praktiknya masih menyisahkan berbagai tantangan dan problematik, karena sampai saat ini “masih belum jelasnya mekanisme penilaian terhadap HKI, siapa atau lembaga mana yang berwenang untuk menilai HKI yang hendak dijadikan sebagai objek jaminan fidusia tersebut, apakah semua jenis HKI yang telah terdaftar dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, apakah jenis HKI yang dijadikan sebagai jaminan fidusia tersebut sebagai jaminan utama ataukah jaminan tambahan, bagaimana cara mengeksekusi HKI yang dijadikan sebagai objek jamian fidusia tersebut, dan berbagai permasalahan hukum lainnya, yang semuanya memerlukan regulasi yang lebih spesifik, jelas, aman dan terpercaya sehingga lembaga keuangan khususnya perbankan sebagai kreditur berani mengambil langkah untuk mengimplementasikan HKI sebagai jaminan fidusia ini. Belum jelasnya pengaturan terkait berbagai permasalahan tersebut menyebabkan lembaga keuangan khususnya lembaga perbankan sampai saat ini belum mau mengambil risiko dengan menggunakan HKI sebagai objek jaminan fidusia. Hal tersebut tentunya sangat beralasan mengingat lembaga keuangan khususnya perbankan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada nasabah, termasuk dalam hal ini adalah perlunya kehati-hatian melakukan penilaian terhadap berbagai jenis HKI yang akan dijadikan sebagai objek jaminan Fidusia (implementasi prinsip 5C yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition ). Dengan demikian perlunya infrastruktur, regulasi yang jelas terkait HKI sebagai objek jaminan fidusia tersebut sehingga HKI sebagai objek jaminan fidusia yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk membantu masyarakat terkhusus pelaku UMKM mendapatkan tambahan modal usaha melalui HKI sebagai objek jaminan fidusia bisa diimplementasikan dengan baik kedepannya.