Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum / Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Trend Pejabat Publik yang Aktif di Media Sosial merupakan hal yang menarik dalam perspektif sosial dan dinikmati netizen. Namun dalam negara hukum, perspektif hukum akan melihat menggunakan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memperkenalkan norma baru terkait perlindungan kehormatan individu, khususnya dalam Pasal 27A. Pasal ini menyatakan bahwa:
“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dilakukan melalui sistem elektronik.“ Adapun ancaman pidananya dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Pasal ini menjadi dasar hukum dalam kasus pelaporan yang diajukan oleh Dn, seorang pengusaha Surabaya terkait Wakil Wali Kota Surabaya. Pelaporan ini bermula dari unggahan video inspeksi lapangan oleh Arm ke sebuah gudang milik perusahaan Dn, yang dituding menahan ijazah karyawan. Dalam video tersebut, Arm diduga menyebut nama perusahaan, menampilkan identitas pemilik, serta menyampaikan dugaan pelanggaran hukum, termasuk indikasi keberadaan hal yang illegal lain, tanpa disertai bukti hukum yang memadai. Akibatnya, Dn merasa nama baik/ kehormatannya tercemar, sehingga melaporkan kasus ini ke Polda berdasarkan Pasal 27A j.o 45 ayat (4) UU ITE, dengan LP/B/477/IV/2025/SPKT/Polda Jawa Timur.

Sebagai pejabat negara, Arm memiliki kewenangan administratif untuk melakukan inspeksi mendadak (sidak) guna menanggapi laporan masyarakat. Namun, publikasi temuan melalui media sosial, terlebih dengan menyertakan identitas pihak terkait/ tertuduhan belum disertai pembuktian, maka menimbulkan pertanyaan hukum: apakah tindakan tersebut masih dalam koridor pelayanan publik atau telah melanggar hak warga negara.
Perbandingan dengan Praktik Pejabat Publik lain kita ambil contoh figur Kang Dedi Mulyadi (KDM) juga aktif menggunakan media sosial untuk menyoroti masalah sosial. Namun, pendekatannya berbeda: Kang Dedi cenderung menghindari penyebutan identitas spesifik subyek hukum individu atau pihak tertentu. Ia lebih menekankan narasi solutif dan empatik, bukan pendekatan naming and shaming.
Kontennya berfokus pada edukasi publik tanpa melanggar asas presumption of innocence. Perbedaan ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial oleh pejabat publik harus memperhatikan etika komunikasi digital dan prinsip proporsionalitas.
Implikasi Hukum dan Prinsip Good Governance in casu Pasal 27A UU ITE hadir sebagai respons terhadap kritik atas pasal pencemaran nama baik sebelumnya, yang sering disalahgunakan untuk membungkam kritik. Namun, pasal ini juga berfungsi sebagai balancing power ketika pejabat publik melakukan eksposur berlebihan terhadap warga tanpa dasar hukum yang sah. Dalam konteks e-government dan good governance, pejabat publik memang dituntut untuk transparan dan akuntabel. Namun, hal ini harus sejalan dengan prinsip-prinsip bahkan norma hukum.
Kasus Arm mengindikasikan potensi penyalahgunaan media sosial oleh pejabat publik untuk membentuk opini. Praktik komunikasi digital seperti yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi alat civic engagement yang efektif tanpa melanggar hak individu.
Pembangunan regulasi khusus yang mengatur tanggung jawab pejabat publik dalam penggunaan media sosial merupakan kebutuhan mendesak. Regulasi tersebut harus mencakup: (1) standar komunikasi digital pejabat publik, (2) prinsip kehati-hatian dalam penyebutan identitas individu, (3) larangan penyebaran informasi yang belum terverifikasi secara hukum, serta (4) tata cara penyampaian kritik atau temuan yang tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Tujuan regulasi ini bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi, melainkan memastikan hak tersebut dilaksanakan dalam koridor konstitusional yang menjunjung martabat manusia dan integritas sistem hukum.
Di samping regulasi, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani bukti digital juga krusial. Banyak kasus pencemaran nama baik, kehormatan, doxing, atau ujaran kebencian di media sosial terkendala akibat lemahnya pemahaman teknis penyidik terhadap elemen digital seperti metadata, jejak digital, dan konteks komunikasi daring. Tanpa peningkatan kompetensi ini, proses penegakan hukum berisiko terhambat, menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Selain itu, pengembangan model penyelesaian sengketa digital yang adaptif perlu dipertimbangkan. Penyelesaian sengketa tidak harus mengutamakan pendekatan pidana (apalagi dalam tertentu seperti kasus ini), melainkan dapat memanfaatkan mekanisme alternatif seperti online dispute resolution (ODR), permintaan maaf terbuka, atau rekonsiliasi berbasis komunitas. Pendekatan ini lebih sesuai dengan karakter media sosial yang bersifat viral, di mana dampak reputasional sering kali lebih signifikan daripada konsekuensi hukum. Dengan demikian, konflik digital dapat ditangani tidak hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai persoalan relasi sosial yang memerlukan penyelesaian restoratif. Pada intinya pembahasan diatas adalah untuk menciptakan keseimbangan antara transparansi pemerintahan, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak individu di ruang digital. Demokrasi digital membutuhkan kebebasan yang disertai tanggung jawab, terutama karena pejabat publik merupakan representasi negara yang setiap pernyataannya memiliki implikasi hukum dan sosial. Semakin luas penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi kekuasaan, semakin penting pula pembangunan ”etika digital”, kerangka hukum yang jelas, dan mekanisme pengawasan yang transparan.
Sumber :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. https://peraturan.bpk.go.id/Details/267375/uu-no-1-tahun-2024
Laporan Kompas: “Dilaporkan karena Dugaan Pencemaran Nama Baik, Armuji Serahkan Proses Hukum”. Kompas.com. 2024. https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/04/165508378
UUD 1945, Pasal 28G. https://peraturan.bpk.go.id/Details/43965/uud-1945
Rekaman aktivitas Kang Dedi Mulyadi di YouTube. https://www.youtube.com/@kangdedimulyadi_channel
Rudiantara, “Menakar UU ITE dan Ancaman Kebebasan Berekspresi”, Jurnal Kominfo, 2020. https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/kominfo/article/view/1231